Sesungguhnya Allah telah memberikan lahan usaha di bumi ini dengan segala fasilitasnya agar manusia dapat berusaha mendapatkan rezeki yang disediakan oleh Allah Swt bagi keperluan manusia.
REZEKI dan kehidupan manusia adalah sesuatu yang sangat berkaitan. Pasalnya, rezeki ini tidak bisa dilepaskan dari usaha atau pekerjaan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat bagi kehidupan seseorang serta bertujuan untuk menghilangkan berbagai kesukaran. Dalam arti luas, rezeki bukanlah sesuatu yang sifatnya material semata-mata. Dan fenomena inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan dari kita.
Pada tataran demikian, kita harus melakukan manajemen yang baik dalam usaha mendapatkan rezeki dari Allah Swt. Karena tanpa manajemen yang baik, jangan-jangan rezeki tersebut dapat menjerumuskan kita dikemudian hari (baca: akhirat). Bukankah, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah kehidupan itu akan ada perhitungannya pada saat kelak setelah kematian? Dalam hal ini, Imam Ghazali memberi arahan bahwa masalah rezeki merupakan rintangan terbesar bagi manusia ketika hidup di dunia. Karena persoalan rezeki (yang tidak halal) itulah, maka manusia akan datang ke akhirat dalam keadaan amalnya menjadi bangkrut, sedangkan di depan mereka telah nampak adanya hisab dan siksaan jika sekiranya tidak mendapatkan ampunan-Nya.
Atas dasar itulah, kita hendaknya mampu menjemput rezeki bukannya mencari rezeki. Mencari rezeki berarti kita berusaha supaya mendapat nafkah (rezeki). Hal ini tidak tepat, karena bukankah Allah telah menentukan dan menyebarkan rezekinya terhadap setiap makhluk ciptaan-Nya? Di sinilah, perlunya kita menjemput rezeki. Yakni pergi menyambut (menyongsong) kedatangan rezeki atau memungut dengan “ujung-ujung jari” terhadap setiap rezeki yang telah Allah sebarkan di dunia ini.
Berikut ini, ada beberapa lahan usaha yang bisa dijadikan aset manusia dalam menjemput rezeki yang telah ditebarkan-Nya, tentu dalam batas koridor misteri rezeki dan fenomena ikhtiar manusia itu sendiri.
1. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai.
Pegawai (Employee) adalah orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan dsb.). Bekerja berarti mengerahkan tenaga fisik atau fikiran yang dilakukan untuk memperoleh imbalan berupa uang. Ini mencakup seluruh bentuk pekerjaan, baik yang dilakukan dengan tangan atau dengan kepandaian (Afzalurrahman; 1982).
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjadi pegawai itu dapat menjemput rezeki dengan mempunyai pekerjaan dan bekerja untuk orang lain atau sebuah perusahaan.
Bagi mereka yang tergolong pegawai ini, memiliki karakteristik yang khas. Yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kata “aman” merupakan frasa yang sering digunakan oleh mereka sebagai reaksi terhadap emosi takut akan ketidakpastian.
Ketidakpastian tak membuat kelompok ini merasa bahagia; kepastianlah yang membuat mereka bahagia. Para pegawai ingin rasa takut mereka dipuaskan dengan beberapa derajat kepastian, itulah sebabnya kebanyakan mereka mencari keamanan dan perjanjian yang mengikat dalam hal pekerjaan.
Pada konteks sebagai pekerja, yang penting diperhatikan sesuai dengan syariat Islam adalah tanggung jawabnya. Yakni sebagai pegawai adalah wajib melaksanakan pekerjaan dengan sebaik mungkin untuk menjemput rezeki dari Allah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Alquran surat Al-Maidah ayat 1, “…. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ….”
Menjadi pegawai merupakan salah satu faktor penting dalam produksi. Misalnya, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak dapat dimanfaatkan, kecuali bila digali dan diproduksi menjadi sesuatu yang lebih berguna dan produktif oleh tenaga kerja. Alquran menyatakan, “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali apa yang telah diusahakannya.” (QS. 53: 39).
Rasulullah sendiri dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya tenaga kerja dan selalu menghargai karya para pekerja. Lebih-lebih bekerjanya itu dilandasi dengan jujur, demi mendapatkan pahala dari Allah.
Pendeknya, melalui bekerja telah memperlihatkan pada dunia bahwa kita hidup, kita ada, dan hidup kita menjadi lebih bermakna. Rasulullah telah mengingatkan bahwa seseorang laki-laki yang keluar dari rumahnya sambil membawa seutas tali, kemudian ia pulang dengan membawa seikat kayu bakar untuk dijual dan dibelikan makanan untuk anak dan istrinya, jauh lebih mulia bila dibandingkan dengan orang yang meminta-minta. Pasalnya, sekali seseorang meminta-minta kepada sesama manusia, berarti ia telah mengambil sekerat daging dari mukanya. Konsekuensinya, semakin sering ia meminta, maka semakin banyak daging yang ia ambil dari mukanya. Sehingga, nanti pada hari kiamat ada sekelompok orang yang datang tanpa sekerat pun daging di mukanya karena ketika hidup di dunia ia telah banyak meminta.
Rasulullah selalu menekankan untuk bekerja dan tidak pernah menyukai orang yang selalu bergantung pada sedekah. Lagian, bukankah kehidupan yang mudah dan menyenangkan dijanjikan pada mereka yang bekerja dan tidak membuang-buang waktu ---bermalas-malasan---(QS. 101: 6-7). Dalam bahasa Imam Sirkhasi dikatakan, “Mencari nafkah untuk hidup adalah kewajiban setiap Muslim.”
Lebih dari itu, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa perintah untuk bekerja keras itu, agar kita berinfak, dan dengan demikian kita akan menerima pahala amal saleh. Tepatnya, bekerja menjadi media berbuat baik kepada sesama manusia. Inilah menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai yang dilandasi atas keimanan kepada Allah. (BERSAMBUNG...)
Minggu, 09 Mei 2010
MENJEMPUT REZEKI
Diposting oleh GlobalServise di 04.33
Label: cara menjemput rezeki, pentingnya rezeki, rezeki dan kehidupan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar